Sebagai warga negara Indonesia, sudahkah Sahabat MOCO memahami asal-usul dari bahasa Indonesia? Faktanya, bahasa Indonesia bukan bahasa ibu bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut disebabkan kuatnya pengaruh bahasa daerah. Oleh karena itu, banyak dari kita bukan seorang penutur asli bagi bahasa resmi ini.
Daniel Prasatyo melalui pelatihan bertema “Tak Kenal Maka Tak Sayang: Perjalanan Bahasa Indonesia dari Tanah Kelahirannya Hingga Kini” Rabu 29 Juli 2020, menyampaikan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu pasar yang direkonstruksi. Jadi, pada dasarnya bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang murni.
Bahasa Indonesia menyerap dari bahasa asing
Eksistensi bahasa Indonesia dimulai dari bahasa Melayu pasar yang direkonstruksi. Kata “pasar” mengidentifikasikan bahwa bahasa tersebut banyak digunakan di pasar oleh masyarakat saat itu. Kemudian, pada perkembangannya bahasa Indonesia menyesuaikan dengan menyerap beberapa kosakata baru yang melibatkan bahasa asing lainnya seperti bahasa Belanda, Portugis, dan Cina.
Peminjaman kata dari bahasa asing tersebut yang akhirnya membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata “kantor” sebagai terjemahan “office”. Sedangkan dalam bahasa Melayu padanannya adalah “pejabat”. Bahkan kata “pejabat” kurang lazim digunakan karena masyarakat Malaysia atau Singapura lebih sering menggunakan kata “office” tanpa diterjemahkan.
Penyerapan kata dari bahasa asing ini menyesuaikan dengan penggunaannya. Seperti bahasa Belanda yang lazim digunakan untuk istilah pemerintahan. Mengingat hingga saat ini Indonesia masih menggunakan sistem hukum yang dibentuk oleh Belanda pada masa penjajahan. Sedangkan bahasa Portugis banyak digunakan untuk mengacu pada institusi gereja dan kekristenan secara umum. Bahkan, istilah “gereja” diambil dari bahasa Portugus “igreja”. Bahasa Cina banyak digunakan untuk makanan khas. Seperti bakmie, bakpau, dan lainnya.
Meskipun bahasa indonesia banyak menyerap bahasa asing, seiring perkembangannya mulai menciptakan bahasa yang baru. Khususnys untuk istilah yang berkaitan dengan teknologi, seperti “unggah” untuk mengganti upload, “unduh” serta yang sebelumnya
Mengenal ragam bahasa Indonesia
Bahasa indonesia terdiri dari berbagai ragam. Seperti ragam baku, buku, dan tidak baku. Ragam baku adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Penggunaannya mencakup hal-hal yang bersifat formal seperti dokumen kenegaraan, karya tulis ilmiah, dan sebagainya.
Sedangkan ragam buku mengacu pada kalimat yang tidak sesuai dengan KBBI tetapi sudah tertulis di banyak dokumen. Contohnya adalah “Maha Esa” yang terkandung dalam sila pertama Pancasila. Bahasa Indonesia tidak mengenal kata “maha” yang diikuti spasi dan kata yg menyangkut kata “maha” dengan kata kapital. Penggunaan “maha” yang benar tidak ada spasi dan tidak dikapitalkan. Contoh “mahasiswa”.
Terakhir, ragam tidak baku. Ragam ini digunakan untuk bahasa percakapan sehari-hari. Tetapi tidak terbatas pada bahasa percakapan, penggunaan media sosial yang berbasis teks juga menggunakan bahasa percakapan sehingga bisa menggunakan ragam tidak baku ini.
Yang menjadi unik adalah, ragam tidak baku bahasa indonesia ini sangat berbeda dengan ragam bakunya. Sehingga, relatif sulit bagi orang asing untuk mempelajari bahasa indonesia formal sekaligus bisa berbicara dengan bahasa sehari-hari. Berlaku juga untuk orang indonesia yang sulit untuk belajar bahasa formal kalau hanya terbiasa dengan bahasa percakapan.
Kultur mempengaruhi perkembangan bahasa
Sahabat MOCO, kultur juga sangat mempengaruhi perkembangan bahasa. Kalau dalam bahasa Indonesia, istilah beras memiliki padanan kata lainnya seperti “gabah”, “beras”, hingga menjadi “nasi”. Tentunya ini berbeda dengan bahasa Inggris yang hanya mengenal kata “rice”.
Hal tersebut juga berlaku untuk bahasa bagi masyarakat Inuit. Mereka yang tinggal di belahan utara bumi dan bahasanya berasal dari Proto eskimo mengenal 3 istilah untuk menggambarkan salju. Ganiɣ, aniɣu, dan apun sama-sama memiliki arti “salju”.
Oleh karena semua bahasa sangat bergantung pada kultur dari masyarakat yang menggunakan bahasa ini, maka semakin penting suatu hal, maka semakin banyak padanan kata untuk menjelaskan hal tersebut secara rinci.